salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah sifat wara, yaitu sifat hati2 terhadap sesuatu yang diharamkan Allah, atau sesuatu yang akan membuat murka ALlah, atau sesuatu yang mengandung syubhat/keragu raguan.
Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.
Wara secara bahasa artinya: 'menahan' dan 'tergenggam'.
Ibnu Faris berkata: "Wara bermakna juga: menjaga diri yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya…
Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna.
dibawah ini ada nukilkan beberapa pendapat para ulama, di antaranya:
Ibnu Umar berkata:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya"
Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."
Ibrohim bin Adham berkata:
"Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusannya"
Dikatakan pula:
"Wara artinya keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan."
Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- berkata:
"Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembala di sekitar pagar, tidak ayal akan masuk kedalamnya."
Tidak diragukan bahwa seseorang dikatakan bersifat wara atau takwa karena didapati adanya aksi penolakan dan menahan diri dari apa yang dilarang (bukan karena ketidakadaan apa yang dilarang). Kesimpulan uraian: selama tidak ada perkara yang terlarang, tidak akan ada pula perkara yang memudaratkan, baik berbentuk celaan, hukumandan yang sepertinya.
Adanya aksi penolakan, proteksi diri dan menghindar dari perkara telarang berarti telah melakukan aksi ke-saleh-an, ketaatan dan takwa, yang membuahkan manfaat, baik berbentuk pujian, pahala dan yang sepertinya. Jadi, adanya mudarat berbanding lurus dengan adanya kejelekan. Dan adanya manfaat berbanding lurus dengan adanya hasanat (kebaikankebaikan)
Untuk sesuatu yang sudah jelas kehalalannya, meninggalkannya bukanlah termasuk wara. Dan apapun yang sudah jelas keharamannya mengerjakannya bukanlah wara.
*salah satu sikap wara yang diajarkan suamiku adalah saat kita belanja di supermarket, dan mau beli makanan kemasan, pastikan di kemasan itu tertera label "HALAL MUI", jika memang makanannya dipastikan halal, (misal: gula,keripik singkong,dll yang ga mungkin mengandung sesuatu yg haram) ya ga masalah walopun ga ada label halal nya juga. tapi kalo kita ragu makanan itu mengandung sesuatu yang diharamkan atau tidak (eg. roti,permen,es krim,dll), maka kita lihat, ada label halal MUI nya atau nggak, kalo nggak ada dan kita masih ragu, lebih baik nggak usah beli, itu salah satu bentuk sikap 'wara' dalam kehidupan sehari hari.
semoga bermanfaat..
sumber: islamhouse.com
http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_Wara_Kaum_Salaf.pdf
Asal arti kata wara adalah: menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian menahan diri dari hal mubah (yang dibolehkan) dan halal.
Wara secara bahasa artinya: 'menahan' dan 'tergenggam'.
Ibnu Faris berkata: "Wara bermakna juga: menjaga diri yaitu: menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya…
Dalam mengartikan makna wara ini ulama berbeda dalam pengungkapannya dengan banyak ungkapan. Beda ungkapan tetapi sepakat dalam makna.
dibawah ini ada nukilkan beberapa pendapat para ulama, di antaranya:
Ibnu Umar berkata:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya"
Dengan makna yang serupa diungkapkan oleh sebagian salaf:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan hingga meninggalkan apa yang tidak memudaratkan demi kehati-hatian dari perkara yang mengandung kemudaratkan."
Ibrohim bin Adham berkata:
"Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusannya"
Dikatakan pula:
"Wara artinya keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan."
Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- berkata:
"Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembala di sekitar pagar, tidak ayal akan masuk kedalamnya."
Tidak diragukan bahwa seseorang dikatakan bersifat wara atau takwa karena didapati adanya aksi penolakan dan menahan diri dari apa yang dilarang (bukan karena ketidakadaan apa yang dilarang). Kesimpulan uraian: selama tidak ada perkara yang terlarang, tidak akan ada pula perkara yang memudaratkan, baik berbentuk celaan, hukumandan yang sepertinya.
Adanya aksi penolakan, proteksi diri dan menghindar dari perkara telarang berarti telah melakukan aksi ke-saleh-an, ketaatan dan takwa, yang membuahkan manfaat, baik berbentuk pujian, pahala dan yang sepertinya. Jadi, adanya mudarat berbanding lurus dengan adanya kejelekan. Dan adanya manfaat berbanding lurus dengan adanya hasanat (kebaikankebaikan)
Untuk sesuatu yang sudah jelas kehalalannya, meninggalkannya bukanlah termasuk wara. Dan apapun yang sudah jelas keharamannya mengerjakannya bukanlah wara.
*salah satu sikap wara yang diajarkan suamiku adalah saat kita belanja di supermarket, dan mau beli makanan kemasan, pastikan di kemasan itu tertera label "HALAL MUI", jika memang makanannya dipastikan halal, (misal: gula,keripik singkong,dll yang ga mungkin mengandung sesuatu yg haram) ya ga masalah walopun ga ada label halal nya juga. tapi kalo kita ragu makanan itu mengandung sesuatu yang diharamkan atau tidak (eg. roti,permen,es krim,dll), maka kita lihat, ada label halal MUI nya atau nggak, kalo nggak ada dan kita masih ragu, lebih baik nggak usah beli, itu salah satu bentuk sikap 'wara' dalam kehidupan sehari hari.
semoga bermanfaat..
sumber: islamhouse.com
http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_books/single/id_Wara_Kaum_Salaf.pdf
No comments:
Post a Comment